orang ketiga
Dia melihat telphone genggam lelaki yg ia cintai, berkedip2, bergetar2 gelisah, segelisah pemiliknya. Tak perlu pintar untuk mengetahui bahwa itu pasti dr rumahnya, telpon dari istrinya yg bilang bahwa ia dcari oleh anaknya atau anaknya yg mengabari bhw istrinya sedang menunggunya.
Biasanya begitu.
Dulu,
Mereka selalu melewatkan waktu lebih lama, weekend keluar kota bahkan ke negara tetangga. Agar bebas, lelaki itu selalu mencari jalan dan berusaha. Semua serba indah, semua janji dtepati, komunikasi selalu penuh cinta dan harapan, urusan mereka lancar, tidak ada yg menghalang. Pokoknya tidak ada yg salah..
Itu dulu.
Sekarang..
Hanya beberapa jam mereka melewatkan waktu bersama dan beberapa menit lagi hal indah ini akan berlalu. Karena telphone itu bukan hal yg demokratis, hal yg sudah jadi kesepakatan awal, tidak boleh dganggu, tidak boleh dgugat.
Permintaan satu arah.
Dulu telephone itu seakan tak nampak, tapi rupanya sekarang dia sudah harus dtampilkan.
Prioritas telah berubah.
Dan sebentar lagi, dia hanya akan bisa menatap punggung laki2 yg dcintainya berlalu melewati pintu. Dan entah berapa hari lagi, dia akan bisa menemuinya. Sungguh nestapa
Terima? Engga. Protes? Mana mungkin. Sedih? Jangan dtanya.
Dan seperti hari2 menjelang imlek yg riuh rendah oleh angin dan hujan, yah seperti itulah keadaan hatinya. Setiap laki2 itu pergi meninggalkan rumah, yg laki2 itu belikan untuknya. Dia layu seperti bunga kering. Hidup seperti mati, mati tp masih bernyawa.
Menangis sudah tak bisa, merajuk entah pada siapa.
Laki2 itu begitu dcintainya, begitu dpujanya. Laki2 yang telah berkeluarga itu. Melambungkan ia setinggi awan dan dsaat lain menghempaskannya ke tanah tanpa ayal.
Dia hidupnya, dia matinya.
Dulu ia begitu legawa menanyakan kabar istri dan anak2 mereka, sekarang tanpa dminta laki2 itu selalu menceritakan keadaan keluarganya, sulung yg pintar, si tengah yg berprestasi dan si bungsu yg nakal tp membahagiakan. Laki2 itu begitu bangga pd keluarganya, dia bisa merasakan ketulusan dan kecintaan yg begitu besar. Sebagai suami, sebagai ayah.
Setiap keping cerita adalah sebuah sayatan. Luka yg terbuat sudah permanen dan sdg bertambah. Begitu ingin dan iri wanita itu akan kisah sang lelaki. Begitu ingin ia jadi bagian utama dari cerita itu. Istri dan ibu dari anak anaknya. Jd tokoh protagonis dlm sebuah cerita.
Tapi buat wanita itu, kebahagiaannya tidak penting. Dia sangat menghargai wanita yg ia rebutkan suaminya, ia pernah menjadi ratu dlm hidup lelakinya. Meski cerita mereka tersimpan rapi. Ia tidak berharap akan membuka hubungan rahasia mereka pd istri lelaki itu dan merebut cinta laki2 yg mereka cintai bersama.
Laki2 yg ia cintai itu sangat mengagumi istrinya. Maka iapun sama, iapun terbawa perasaan.
Dia adalah bagian hidupnya. Dia mencintai apa yg dcintainya, menghormati apa yg dhormatinya.
Kebahagiaan dia tidaklah penting. Bukankah dulu ia pernah berjaya?
Meski seperti barang yg expired date hampir tiba, ia paham bahwa suatu saat laki2 itu akan benar2 hanya untuk keluarganya. Dia tidak repot memikirkan hal itu. Karena mereka begitu jatuh cinta. What could possibly go wrong?
Ini sudah hidupnya, ini sudah pilihannya. Jika momen ini datang, harusnya dia sudah tau.
Harusnya dia sudah siap.
Bahwa, perselingkuhan selalu berujung luka. Selalu.
Malam itu gerimis, seperti hatinya. Wanita itu berulangkali memastikan tidak ada yg salah dg telephonenya. Sudah sejak siang tak ada kabar. Sejam setelah kepergiannya, laki2 itu mengirim pesan singkat: sudah di rumah. Itu artix tidak perlu dbalas hingga dia menghubunginya lagi nanti. Dia resah. Biasanya tidak begini, biasanya tidak selama ini.
Dia menatap rautnya d cermin, masih secantik dahulu. Sekali lagi dia lirik telphone nya yg bersignal penuh.
No hi, no nothing. Tak ada pertanyaan sudah makan atau keingintahuan yg lain. Tidak ada, Telphone itu full battery, full signal. Tapi sepi. Tak ada yg peduli.
Menjadi antagonis bukanlah kemauannya. Dia juga ingin dlihat baik oleh keluarga dan kerabatnya. Kenapa cinta datang dan begitu memberatkan?
Cintakah yg salah atau diakah yg berdosa. Dia sedih tp tak bisa menangis. Kecewa yg berurat akar penyebabnya. Dia bertekad, malam ini dia harus bisa menangis.
Apakah cinta memang begini? Atau diakah yg salah menempatkan cinta itu sendiri? Dia tau kepada siapa dia harus bertanya. Dia tau kepada siapa dia harus merajuk.
Dia mengambil air wudhlu dan memulai sholat. Diatas sajadah itu, airmatax mengalir seperti hendak membentuk anak sungai, tangisan atas jeritan sunyi seorang wanita yg dsimpan, penyesalan jalan hidup dan kekosongan hati yg tak sebentar. Dia rindu menjadi hidup, berbahagia dan dcintai dg layak. Dia terisak sejadi2nya, menangis sepuas2nya sambil tak henti beristighfar..
Adzan Subuh menyadarkannya. Rupanya ia tertidur dalam kelelahan tangis. Ia melirik jam,
Seakan beban berat perlahan terangkat dan dengan pasti diraihnya telphone itu, penglihatannya masih setengah samar, bengap krn airmata, mata dan jarinya mencari nama: Ibu, dalam phone contact. Bapak, Ibunya pasti sudah bangun. Ingin ia segera memberitakan kedatangannya.
Kali ini dia bertekad hanya membeli satu tiket jalan pulang.
"Sesungguhnya hanya kepada Allah, aku adukan susah dan sedihku"
(QS.Yusuf:86)
Lind LesMo 17 Dec 14
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda