Rabu, 15 April 2015

Istri

Aku menikahi laki2 ini sejak 11th sudah, sebelum menikah kami telah berpacaran 3th. Keluarga kami sangat akrab, antar ipar, antar besan. Kami saling mengenal satu sama lain, dengan baik. Terlalu baik, bahkan.
Hingga, jika terjadi ketidak cocokan, kt malah hampir tidak pernah meributkannya, tp jelas situasi saling menjaga perasaan begini sangat tidak enak. Serba sungkan.
Macam sudah kenyang, masi dsrh makan..

Kami dkaruniai 2 anak, mona 10th, lisa 9th. Hidup kami baik, karir suamiku sukses dan aku adalah istri yg bahagia. Setidaknya begitulah orang melihat kami.

Kenyataan bahwa kami sudah berhubungan terlalu lama, rutinitas yg membelenggu, yg berakibat pd segala bentuk komunikasi dan interaksi. Segala sesuatunya berjadwal.
No surprise.
Suamiku adalah ayah yg ideal utk anak2ku, kurasa aku juga istri yg dbanggakan suamiku, selain aktif d kegiatan sosial jg kegiatan ibu2 tempat suami bekerja, aku jg wanita pekerja. Kehidupan berlangsung damai, normal, tak ada pertengkaran, tak ada emosi, tak ada konflik. Tak ada percik2 api spt dahulu.
Datar.

BlackBerry suamiku berkedip merah, tak ada suara. Tiba2 lamp alert nya berubah merah. Sudah beberapa bulan ini kami masing sibuk dg social media masing2. Sangat menyenangkan bertemu teman lama lewat jejaring social.
Tp belakangan, tingkah suamiku agak tak biasa.
Kuliat dia semakin bersemangat, makin banyak senyum, makin perhatian pd anak2, jg padaku, lebih manis secara fisik & verbal. Makin tepat pula jadwalnya. Pdhl kadang aku harus memaksa ia pergi d jadwal main tennis ato mancing bersama teman2nya. Skg, tak perlu lagi. Sejam sblm jadwal itu, dia sudah nampak siap. Nampak terlalu siap. Aku senang, tapi ada sesuatu yg tidak biasa.
Frankly, I hate this feeling

Setengah tahun sudah perilaku seperti ini. Bohong kalo aku tak merasa suamiku tidak bertemu dg siapapun. Aku tau dia sedang bermain api. Dia menyembunyikan dg rapi, perasaan dan perilakunya. Tapi aku terlalu mengenalnya dg baik, hingga aku tau bahwa ada seseorang yg memenuhi hari2nya beberapa bulan ini.
Pernah kutanyakan padanya, dia jawab tidak. Sesaat, aku bersyukur dia menjawab tidak, krn itu berarti dia masih berat padaku, pada keluarga ini.

Ingin kubuntuti dia, tapi buat apa. Ingin kuselidiki dia tp apalah dayaku sedang hidupku pun sdh sangat sibuk. Bb suamiku jg terlalu nampak 'rapi' dan standart. Tp hati ini curiga, resah. Aku tau ada sesuatu. Aku tau aku dbohongi. Tapi, aku harus bagaimana? Kalo aku tau, apa untungnya buat aku. Apa aku tidak menyakiti diriku sendiri? Kalo percaya pd suamiku, ya Tuhan, terlalu banyak bukti tak terlihat yg menunjukkan 'tubuhnya dsini, pikirannya entah kemana..'

Namun, suamiku bertahan. Bertahan dalam tidak. Dalam penyangkalan. Seperti Oj Simpson yg bertahan dg jurus: sangkal, sangkal, sangkal. Meski ia jelas2 bersalah.
Seperti Oj Simpson kah suamiku skg? Apakah ini hny sebuah petualangannya? Puber kedua? Apakah aku harus berpegang pd: what you don't know, it won't hurt you? Lebih baik tidak tau drpada tersakiti? Begitukah? Toh memang suamiku selalu menyangkal? Bukankah itu artinya dia juga tak mau kehilangan aku? Tak mau menyakitiku?

Naluriku dhadapkan pd pilihan: kedamaian atau kejujuran?

Ternyata, memang beginilah hidup berumah tangga. Semua tak nampak seperti yg di permukaan. Kadang kita hanya bisa menutup mata dan mulai berdamai dg apa yg dberikan pd kita. Meski hati merasakan apa yg tak terlihat oleh mata.


Lindlesmo, 13 april 2015
During benjamin mid test

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda